Pandangan Subyektif mengenai Pernikahan Beda Agama - Hubungan Perkawinan Beda Agama dan Sila ketiga

`Disclaimer : Tulisan ini pernah dikirimkan sebagai kewajiban menuntaskan nilai UAS saya di kampus. Tulisan ini hanyalah pendapat dari penulis yang disertai sumber yang ada. Saya juga masih belajar teologi. Maka dari itu saya masih terus belajar. Mohon maaf jika ada kekurangan ahahaha

PERKAWINAN BEDA AGAMA dan SILA KETIGA

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang multikultural, salah satunya adalah keberagaman mengenai agama. Perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan dalam masyarakat multikultural. Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas diperbolehkannya atau tidak perkawinan beda agama, melalui studi dengan melihat dan membandingkan Sila ketiga pancasila, UU No.1 Tahun 1974, Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia, Publikasi  Keuskupan Agung Jakarta, pendapat dalam agama Hindu dan Islam. Menurut penulis, dari situlah terlihat bagaimana dasar dalam sebuah perkawinan beda agama dapat diambil dan dari situlah kita dapat mengambil sikap.

Inti Pembahasan
            Perkawinan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia, dimana ada sepasang individu yang berkomitmen untuk hidup bersama dan membentuk sebuah keluarga. Dalam konteks budaya Indonesia yang beragam, tidak sedikit orang-orang melangsungkan perkawinannya berbeda suku dengan pasangannya. Bahkan, perkawinan beda agama pun sering terjadi di tengah masyarakat. Memang, perkawinan beda agama merupakan sebuah hal yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Perkawinan dapat dianggap sebagai perwujudan sila ketiga pancasila yang mengakui dan melaksanakan keberagaman. Perkawinan berbeda agama dianggap merupakan wujud konkret dalam toleransi antar-agama. Perkawinan berbeda agama dianggap tidak bisa disalahkan karena hal itu merupakan hak asasi manusia. Tetapi, ada juga pendapat yang bertentangan dengan hal itu.
Tidak sedikit orang menganggap bahwa perkawinan beda agama menimbulkan banyak sekali permasalahan. Mereka tidak mampu memahami dan mengerti mengapa dua orang yang berbeda agama tetap memutuskan menikah, walau berbagai tantangan dan rintangan menanti mereka di depan. Dari masalah upacara/ibadah pernikahan pada awal perjalanan mereka, hingga pendidikan agama bagi anak-anak mereka kelak. Namun, kita harus bertanya apakah negara mengintervensi perkawinan masyarakatnya (khususnya perkawinan beda agama) melalui peraturan-peraturan yang dibuat.
                Indonesia adalah negara dengan penduduk yang sangat beragam. Penduduk Indonesia berasal dari berbagai macam suku, ras, dan agama. Keberagaman ini berada dibawah satu naungan hukum Indonesia yang melindungi dan menjaminnya. Tak jarang keberagaman ini bukannya membawa perbedaan tetapi membawa persatuan. Penduduk yang berasal dari suatu suku atau ras atau memeluk suatu agama dapat membentuk keluarga dengan penduduk lain yang berasal dari suku atau ras berbeda atau pemeluk agama lain.
            Perkawinan antar penduduk Indonesia sudah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memberikan sejumlah ketentuan sepasang individu yang hendak melangsungkan pernikahan. Dari sejumlah ketentuan yang diatur di dalamnya, pasal 2 ayat (1) dan (2) menjadi persoalan. Pasal 2 di kedua ayatnya mengharuskan kedua mempelai melangsungkan pernikahan sesuai dengan hukum agama yang berlaku. Hal ini menjadi masalah untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
            Selama 3 dekade terakhir (1980-1990, 1990-2000, 2000-2010), terjadi peningkatan dan penurunan jumlah perkawinan antar agama. Jumlah terbanyak adalah pada dekade kedua, sementara yang paling sedikit adalah pada dekade ketiga. Data ini dapat kita simak dalam tabel[1] berikut :
Agama
1980-1990
1990-2000
2000-2010
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Islam
0.7
0.6
0.9
0.9
0.5
0.6
Protestan
6.0
8.6
10.6
13.8
5.1
3.6
Katholik
13.3
15.4
11.4
8.7
6.9
13.0
Hindu
19.0
9.6
16.3
2.7
60.0
-
Buddha
-
-
37.5
21.9
-
-
Lain-lain
-
-
35.5
0
-
-
Jumlah
24677
24677
28668
28668
2673
2673

            Angka perkawinan beda agama pada 1980-1990 adalah yang kedua paling tinggi dari seluruh 3 dekade ini. Ironisnya pernikahan beda agama telah dibuat peraturannya dalam UU Perkawinan yang disahkan 6 tahun sebelum 1980. Sementara pada dekade 2000-2010 angkanya menurun drastis. Dilihat dari tabel kita juga dapat menyimpulkan bahwa secara keseluruhan laki-laki lebih cenderung melakukan pernikahan beda agama ketimbang perempuan.
                 Perkawinan beda agama di Indonesia adalah realitas yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat kita. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang biasa di mata masyarakat Indonesia, apalagi dengan perkembangan zaman ini. Peerkembangan IPTEK memungkinkan seseorang asing berpindah kewarganegaraan menjadi Indonesia dan menikah dengan seorang WNI yang agamanya berbeda.
            Pemerintah menganggap perkawinan beda agama sah-sah saja bila dilakukan di luar KUA. Namun mereka yang menikah beda agama seringkali dijadikan warga kelas dua oleh pemerintah dan lebih sering mendapatkan diskriminasi. Pihak perempuan dan anak yang nantinya paling dirugikan (Tarsono, 2015).
            Apabila kita kembali meninjau tabel diatas (Tabel 1) maka kita akan menyadari bahwa pernikahan beda agama yang paling banyak angkanya adalah mereka yang beragama Katholik. Hal ini karena Gereja Katholik Roma menerima perkawinan beda agama dengan melakukan pemberkatan di dalam Gereja Katholik. Katholik sangat toleran terhadap agama lain dibandingkan dengan Protestan.

Dalam membentuk sebuah ikatan janji perkawinan, peraturan pemerintah juga mengatur agar perkawinan itu sah secara administrasi negara, disamping peraturan agama yang dianut. Di dalam mengatur perkawinan,  pada tahun 1974, Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengeluarkan peraturan perundang-undangannya yang dirilis dengan judul “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Selain itu, pada tahun 1975,pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 dengan mempublikasikan “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Ayat pertama pada pasal kedua dalam UU No.1 Tahun 1974 menjadi sebuah sikap negara terhadap perkawinan beda agama. Ayat pertama tertulis:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Republik Indonesia 1972, 1)
Dari ayat tersebut, sudah jelas disimpulkan bahwa negara menyerahkan urusan perkawinan kepada peraturan dan hukum agamanya masing-masing. Namun hukum agama tidak secara absolut mengatur perkawinan. Dalam Bab III dalam UU ini membahas mengenai syarat-syarat perkawinan, yang tentunya membahas mengenai syarat secara administratif. Ada enam pasal yang di dalam bab tersebut, dari pasal 6 sampai pasal 12.
            Dalam perkawinan berbeda agama, hal yang paling berperan di dalamnya adalah hukum agama. Agama sebagai sebuah institusi yang mengatur tata-cara dan aturan negara. Perkawinan diatur oleh agama karena perkawinan itu sakral dan termasuk dalam salah satu fase kehidupan manusia yang sangat menentukan. Marilah kita mengambil contoh perkawinan dalam perspektif Kristiani, khususnya dalam perspektif Gereja Kristen Indonesia.
            Gereja Kristen Indonesia menuangkan pandangan dan aturannya mengenai perkawinan yang tertulis dalam Bab X pada Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. Dalam kitab peraturan tersebut, Gereja Kristen Indonesia membahas mengenai pernikahan secara gerejawi ke dalam  Gereja Kristen Indonesia memberi terminologi bahwa :
Pernikahan (atau disebut pernikahan gerejawi) adalah peneguhan dan pemberkatan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam ikatan perjanjian seumur hidupa yang bersifat monogamis dan yang tidak dapat dipisahkan, bedasarkan kasih dan kesetiaan mereka di hadapan Allah dan jemaat-Nya. (Sinode Gereja Kristen Indonesia 2006, 35)
Gereja Kristen Indonesia mengatur segala syarat, prosedur pelaksaan hal-hal lainnya yang terkait dengan perkawinan, termasuk perkawinan beda agama. Gereja Kristen Indonesia melayankan peneguhan dan pemberkatan pernikahan beda agama, namun pasangan calon tetap harus mematuhi peraturan yang tertulis dalam Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia Bab X Pasal 29 ayat 9b.
Ayat 9b dalam Pasal 29 mengatakan:
Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Badan Pekerja Majelis Sinode melalui Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode bahwa: 1) Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani. 2) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/istrinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani. 3) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Sinode Gereja Kristen Indonesia 2006, 36)
Sudah jelas dikatakan dalam peraturan tersebut bahwa Gereja Kristen Indonesia menerima pernikahan beda agama, namun tetap membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh pasangan calon yang akan melangsungkan pernikahannya.
            Hampir sama dengan Gereja Kristen Indonesia, gereja Katolik (Katolik Roma) menyetujui pernikahan beda agama. Menurut gereja katolik, melalui Keuskupan Agung Jakarta, mereka menyetujui pernikahan dengan calon yang berbeda agama karena pernikahan tersebut bersifat gerejawi. Jika pernikahan bersifat gerejawi, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah atau tidaknya pernikahan tersebut, maupun perkara-perkara lain. Negara (melalui catatan sipil) hanya mempunyai tugas mencata perkawinan yang telah diselenggarakan dan mengesahkannya secara adminstratif kenegaraan. (Keuskupan Agung Jakarta t.thn.)
Walaupun gereja Katolik mau melayankan pernikahan beda agama, namun ada hal yang berbeda dengan pernikahan yang dilayankan pada pasangan Katolik. Jika pasangan Katolik dilayankan dengan sakramen (sakramen pernikahan), maka pernikahan dengan pasangan yang beda agama dilayankan hanya dengan pemberkatan pernikahan. Ini terjadi karena konsekuensi dari sakramen itu sendiri. Sakramen dalam gereja Katolik (khususnya sakramen pernikahan) dapat dilayankan jika seseorang sudah dibaptis secara Katolik. Sehingga pasangan yang mempunyai calon beda agama tidak dapat “merasakan” sakramen.
Lain halnya dengan Hindu. Hindu menolak keras perkawinan beda agama. Menurut ajaran mereka, perkawinan adalah yajna, bentuk kewajiban pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa). Perkawinan adalah masa awal memasuki kehidupan berumah tangga sebagai dharma (kewajiban suci) dengan rangkaian upacara perkawinan Hindu yang sangat sakral (vivaha samskara). (Hukum Online 2014)
Bedasarkan kitab suci Hindu (Kutawa Manawa/Dresta) atau tradisi suci turun temurun, sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, maka calon pengantin wanita dan pria harus memeluk agama Hindu. Jika mereka belum memeluk agama hindu, maka sebelum pernikahan itu dilaksanakan, wajib diadakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu. Dengan demikian, perkawinan beda agama dalam ajaran agama Hindu tidak mungkin disahkan melalui vivaha samskara karena bertentangan dengan ketentuan Susastra Veda. (Hukum Online 2014)
 Dalam konteks masyarakat Indonesia, Masyarakat Hindu Indonesia tidak mengenal perkawinan antar atau beda agama. Kawin beda agama memang dikenal oleh masyarakat Hindu India, tetapi terbatas hanya bagi umat yang dianggap serumpun atau Hinduisme. Seperti, Hindu, Buddha, Jaina, dan Sikh. Namun, jika perkawinan beda agama tetap dilakukan, maka pasangan suami istri seperti itu dianggap tidak sah dan selamanya dianggap sebagai samgrhana (perbuatan zina). Konsekuensi dari perkawinan tersebut adalah mereka dianggap batal dan tidak dapat dicatatkan administrasi kependudukannya pada Kantor Catatan Sipil. (Hukum Online 2014)
Lain hal nya dengan Agama Islam. Agama Islam mempunyai aturan tersendiri dan lebih menggambarkan secara teknis. Agama Islam mengijinkan perkawinan beda agama, namun tidak secara total “melegalkannya”. Aturan bagi pria muslim sangat berbeda dengan wanita muslim yang ingin melangsungkan pernikahannya. Aturan itu ditulis dalam beberapa surat yang menjadi dasar.
Jika pria muslim ingin melangsungkan pernikahannya dengan wanita yang berbeda agama, hal itu diijinkan oleh agama Islam, selama wanita itu menganut agama Abrahamik (Kristen ataupun Yahudi). Namun, jika wanita tersebut bukan berasal dari agama Abrahamik, maka tidaklah mungkin bisa dilaksanakan perkawinan tersebut. Dasar yang menjadi hukum ini tertulis dalam Surat Al-Maidah (5):5,
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Islam Muslim 2012)

            Lain halnya dengan Wanita muslim yang ingin melangsungkan perkawinannya dengan Pria yang non muslim. Jika terjadi kasus yang seperti itu, maka tidaklah mungkin itu terjadi dan agama melarangnya. Dasar yang menjadi hukum ini adalah al-Baqaeah(2):221 yang menulisan:
..Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..

Kesimpulan
            Melalui UU No. 1 Tahun 1974, Pemerintah menyatakan bahwa pernikahan beda agama merupakan urusan hukum agama masing-masing, sedangkan negara hanya ikut andil dalam mencatat secara administratif pernikahan tersebut. Dengan demikian, kebebasan dalam melangsungkan pernikahan beda agama tetap terjamin.
            Menurut pandangan subyektif penulis, ada kelebihan dan kekurangan jika pernikahan beda agama dilangsungkan. Kelebihannya adalah, pasangan tersebut mampu secara konkret berusaha menyatukan “kelompok” berbeda agama menjadi sebuah keluarga yang bersatu, seperti sila ketiga pancasila. Namun di sisi lain, ia mempunyai kekurangan, seperti tanggapan masyarakat luar terhadap mereka, pendidikan religiusitas anak, konflik keluarga yang berdasarkan agama, dan lain sebagainya.
            Perkawinan pada dasarnya disahkan dalam agama bukan negara. Negara hanya mencatatnya saja. Hal ini sejalan dengan nilai sila ketiga Pancasila yang menyamakan seluruh rakyat indonesia dalam satu nama Indonesia. Negara sudah menjalankan nilai Pancasila dengan baik dari segi perkawinan ini sekaligus mengakui hak asasi manusia bagi rakyatnya. Pernikahan memang seharusnya menjadi tanggung jawab agama dan persetujuan kedua pihak mempelai, bukan tanggung jawab negara. Kecuali jika negara Indonesia adalah negara agama yang seluruh penyelenggaraannya didasari nilai suatu agama tertentu.
           








References

Hukum Online. 2014. Hindu Tolak Kawin Beda Agama. November 24. Accessed Desember 8, 2016. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5472e6dde9565/hindu-tolak-kawin-beda-agama.
Islam Muslim. 2012. Hukum Pernikahan Beda Agama Islam dan Lainnya. Desember. Diakses Desember 8, 2016. http://www.islamnyamuslim.com/2012/12/hukum-pernikahan-beda-agama-islam-dan.html.
Keuskupan Agung Jakarta. t.thn. Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik. Diakses Desember 8, 2016. http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai-pernikahan-katolik.
Republik Indonesia. 1972. Undang-undang No. 1 tahun 1972. Jakarta: Sekretariat Negara.
Sinode Gereja Kristen Indonesia. 2006. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesa. Jakarta.






[1]  Tabel dari Rozak A, Abd. 2011. Pengkajian hukum tentangperkawinan beda agama (perbandingan beberapa negara). Jakarta: Kementrian hukum dan hak asasi manusia. Untuk Hindu, Buddha, dan Lain-lain dekade pertama disatukan sesuai dengan data tahun 1980-1990.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pojok Teologi - Pengantar Surat Galatia

LDK SMA Kolese de Britto -refleksi/testimoni? entahlah-

Inisiasi De Britto itu.........